Selasa, 10 Januari 2012

Pengurus DPC AGPAII Kab. Balangan

Lampiran:
SK. DPW AGPAII Kalimantan Selatan
Nomor: 11/Kep. DPW-AGPAII/XI/2010
tentang Susunan Pengurus Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (DPC AGPAII) Kabupaten Balangan Prop. Kalsel Masa Bakti 2010-2014. Yakni:


I. Pembina / Penasehat         : Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Balangan
                                                   Kepala Dinas Pendidikan Kab. Balangan
                                                   Kasi Pendais Kantor Kementerian Agama Kab. Balangan
                                                   Kabid Dikmen Disdik Kab. Balangan

II. Pengurus Harian              :
1. Ketua                             : Rahmadi, S. Ag.
2. Wakil Ketua                   : Drs. Antung Asmari
3. Sekretaris                      : Andi Lisman, S. Pd. I
4. Wakil Sekretaris            : Drs. Syamsuri
5. Bendahara                     : Dra. Hj. Latifah
6. Wakil Bendahara          :  Dra. Hj. Norliana

III. Bidang-Bidang                :
1. Bidang Pengembangan Organisasi                   : Drs. Tarwoto
2. Bidang  Pengembangan                                    : H. Ahmad Humaidi, S. Pd. I
3. Bidang Litbang                                                 : Umar Hamdan, S. Pd. I
4. Bidang Advokasi                                              : Hasan Mukeri, S. Pd. I 
Alamat Sekretariat: Jln. Komplek Al Hasaniyah Layap Paringin-Kab. Balangan.

Senin, 26 Desember 2011

Guru: Pendidikan Terbaik bagi Anak

MANUSIA adalah sendi yang menjadi pusat segala elemen kekuatan lainnya. Tak mungkin senjata dapat dimanfaatkan, meskipun canggih, bila tidak ada orang yang ahli dan pandai menggunakannya. Kekayaan, meskipun melimpah, menjadi mubazir tanpa ada orang yang mengatur dan mendayagunakannya untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat.
Dari titik tolak ini, kita dapati segala bangsa menaruh perhatian terhadap pembentukan individu, pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan warga secara khusus agar mereka menjadi orang yang berkarya untuk bangsa dan berkhidmat kepada tanah air.
Sebagai orang tua kita ingin memberikan pendidikan yang terbaik pada anak-anak. Dan hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara dan memilihkan sekolah yang baik buat anak-anak kita.
Pendidikan anak merupakan hal penting yang tidak bisa kita abaikan karena anak merupakan generasi masa depan bangsa. Sebagai orangtua, hendaknya kita memberikan pendidikan yang terbaik . Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya memilihkan sekolah yang baik buat anak.
Tanggung jawab pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah, meski sekolah sudah menyiapkan kurikulum untuk mendidik anak. Pendidikan terbaik tetap saja terletak pada orangtuanya. Saat memasukkan anak-anak ke playgroup yang berbeda dengan taman kanak-kanak, yang diutamakan adalah beradaptasi atau sosialisasi dengan teman sebayanya, di samping ada tujuan lain di antaranya bermain dan bersenang-senang, sharing, merasakan menang dan kalah, melatih kreativitas anak, melatih motorik kasarnya.
Untuk pertimbangan pemilihan TK di antaranya adalah agama. Mencari sekolah sesuai agama karena pelajaran agama harus sudah dikenalkan kepada anak dari sejak ia dalam kandungan orangtua dan juga sejak ia sudah mengetahui atau mengenal agamanya. Atau, mencari sekolah yang tidak berdasarkan agama tertentu, sehingga diharapkan anak menyadari dan mengetahui adanya perbedaan agama, perbedaan ras dan anak dapat bersikap sopan terhadap yang lain. Kelak anak sadar akan identitas dirinya, tetapi juga luwes bergaul dengan mereka yang berbeda dari dirinya.
Lokasi sekolah harus dekat dengan rumah karena anak masih kecil. Di samping itu mudah untuk diantar dan dijemput. Jika terpaksa memilih sekolah yang letaknya jauh dari rumah, penggunaan bus sekolah dapat dipertimbangkan. Bus sekolah dapat melatih anak untuk mandiri dan bersosialisasi dengan teman-teman yang berada dalam angkutan tersebut. Apalagi jika kedua orangtua bekerja dan tidak ada yang dapat mengantar dan menjemput.
Seyogianya kita harus melihat mutu pendidikan, kemampuan guru dan sekolah tidak mematikan kreativitas anak, di mana anak tidak dituntut untuk mengikuti kehendak gurunya. Saat anak memasuki sekolah yang lebih tinggi pertimbangan mutu sekolah dan disiplin�sangat diutamakan.
Disadari atau tidak, memilih sekolah terkadang merupakan obsesi dari orangtua dan rasa cinta almamater. Sekolah swasta memiliki fasilitas lebih dari sekolah negeri dan guru yang selalu membimbing serta mengarahkan dapat mudah ditemui. Berbeda dengan sekolah negeri yang miskin fasilitas, guru yang terkadang tidak di tempat, sehingga murid ídipaksaí untuk mampu mandiri dan belajar sendiri serta� banyak keanekaragaman murid.
Pendidikan anak bukan hanya di sekolah, tetapi di rumah dan di masyarakat sekitar kita. Sebagai orangtua hanya berusaha membangun pondasi yang kuat untuk mereka, termasuk mental-spiritual. Dan orangtua harus dapat menjadi teladan yang baik untuk anak kita.
Sebagai orangtua sebaiknya tidak hanya memikirkan IQ anak saja, tetapi berusaha membentuk keseimbangan antara IQ dan EQ, kecerdasan emosional seseorang yang dipengaruhi lingkungan. Oleh karena�dengan EQ tinggi, anak diharapkan dapat survive dalam segala masalah hidup. Walaupun anak itu hanya memiliki IQ rendah, ia mampu menghadapi kegagalan dan belajar mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Apapun usaha dan harapan orangtua pada anak harus diingat, bahwa itu adalah kehidupan anak.

sumber: kemenag.go.id/pendis/ditpais

Kamis, 29 September 2011

Membumikan Pendidikan Multikultural di Sekolah Umum

Gerakan radikalisme yang telah merasuki dunia pendidikan merupakan teguran keras bagi pemerintah. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan generasi bangsa yang sholeh ternyata masih dipertanyakan. Selain itu, keterlibatan salah seorang alumni Universitas Negeri yang notabene dikenal sebagai salah satu Universitas Agama terbesar di Indonesia menambah miris, kesal dan bingung, kenapa ini bias terjadi?
Benarkah hal tersebut? Bukankah setiap agama menjunjung tinggi perdamaian dan mengklaim sebagai rahmat bagi alam semesta? Secara doctrinal-tekstual orang Islam akan mengatakan bahwa agama mereka adalah agama penyebar perdamaian, karena setiap kali bertemu dengan orang lain mengucapkan "Assalamualaikum". Orang Kristen Katolik mengklaim bahwa agama Kristiani adalah agama cinta, yang diimplementasikan lewat ajaran Diakonia. Orang Hindu begitu juga akan mengatakan bahwa agamanya menekankan Dharma. Orang Budha akan bilang bahwa agamanya sama, yaitu hendak melepaskan diri dari penderitaan manusia.
Agama seharusnya menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia di bumi ini.
Secara normative tidak ada satu agama pun yang memerintahkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan kepada pengikut agama lain. Namun secara historis-faktual, banyak sekali dijumpai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Berangkat dari permasalahan tersebut, menanamkan nilai-nilai keagamaan yang inklusif, pluralis, toleran menjadi sebuah keniscayaan di bumi Nusantara ini, dengan harapan gerakan radikalisme yang mengatasnakan agama dapat terbendung bahkan tidak terjadi lagi.
Pada titIk inilah pentingnya wacana multicultural yang digagas dalam buku ini. Sebuah wacana yang pada akhirnya bermuara pada minimalisasi efek negative dari perbuatan kepentingan sehingga tidak menerabas hak asasi manusia.
Dalam upaya minimalisasi efek negative tersebut, maka yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang keragaman, kesetaraan, kemanusiaan dan keadilan. Sebagai upaya atau ikhtiar awal yang dilakukan penulis buku ini, ia memulai garapan dalam dunia pendidikan sebagai pintu masuk bagi penerapan nilai-nilai tersebut.
Dunia pendidikan yang dijadikan pintu masuk merupakan strategi yang sangat jitu hal ini karena penanaman nilai-nilai seperti ini wajib dilakukan semenjak usia dini.
Sesungguhnya pendidikan multicultural telah lama berkembang di Eropa, Amerika dan di Negara-negara maju lainnya. Maka dengan demikian, gagasan ini bukanlah gagasan yang baru. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multicultural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayoitas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru.
Selain itu, studi ini juga memiliki tujuan politis, yakni sebagai alat control social penguasa terhadap warganya, agar kondisi Negara aman dan terkendali.
Dalam garis besarnya, pendidikan multicultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan cultural yang ada pada siswa, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas social agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.
Selain itu, pendidikan multicultural juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka berada. Dengan kata lain, dapat digambarkan dengan istilah "menyelam sambil minum air".
Artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah memahami, menguasai dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata pelajaran yang diajarkan guru, siswa juga dapat mempraktekan langsung nilai-nilai demokratis, humanis dan pluralis pada teman-teman baik disekolahnya maupun dilingkungan luar sekolah.
Inilah sesungguhnya yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan multicultural tersebut, yakni menciptakan karakter peserta didik untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.

sumber:
Buku "Judul Buku : Pendidikan Multikultural; Untuk Demokrasi dan Keadilan" Karya M. Ainul Yaqin, Penerbit : Pilar Media, Cetakan : 2, 2007).

Menjawab Tantangan Guru: Pembelajaran Inovatif

Memperbincangkan pendidikan dewasa ini, seperti menelisik setiap sendi kehidupan manusia. Peranan dunia pendidikan tidak hanya sekadar mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih dari itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab moral membentuk manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang mampu memahami dirinya sendiri.
Terlepas dari peran-fungsinya bagi setiap manusia, dunia pendidikan juga menjadi cerminan bagi survivenya suatu Negara-bangsa di tengah kancah pertarungan globalisasi. Maupun sebaliknya, kemajuan suatu Negara-bangsa juga dapat diukur sejauh mana dunia pendidikan yang dibangun di dalamnya. Dengan kata lain, dunia pendidikan menjadi barometer suatu Negara-bangsa dalam membaca dan melihat posisinya.
Maka tidak heranlah, sepanjang sejarah Negara-bangsa Indonesia, persoalan menemukan konsep dunia pendidikan yang ideal tak pernah usai. Hal ini berbanding lurus dengan gerak laju zaman yang selalu ditentukan dari riuh redam ruang kelas ataupun ruang kuliah para cendekia.
Lebih jauh, mencuat gonjang-ganjing Ujian Nasional (Unas) yang meresahkan berbagai elemen peserta didik, merupakan bukti paling mutakhir, bahwa dunia pendidikan selalu menuntut pada setiap peserta didik untuk selalu memikirkan, merumuskan dan menemukan konsep pendidikan yang ideal.
Selain persoalan konsep yang ideal dalam membentuk manusia yang seutuhnya, yang perlu diperhatikan adalah substansi dan esensi pendidikan itu sendiri. Seperti disinyalir dalam beberapa dekade terakhir ini, bahwa dunia pendidikan telah banyak mengalami berbagai kegagalan dalam membentuk karakter manusia seutuhnya. Dengan kata lain, tugas pendidikan banyak terabaikan. Terutama memanusiakan manusia. Artinya, dunia pendidikan selama ini tak ubahnya penjara bagi anak didik.
Di sinilah, kehadiran paradigma dunia pendidikan kritis yang diusung Paulo Freire (1986) menemukan ruang kontemplasinya. Lewat keyakinan akan pentingnya landasan pendidikan sebagai sebuah proses memanusiawikan manusia kembali, Freire coba memberikan jalan alternatif untuk memberontak pada tradisi dehumanisasi yang menyelimuti dinding ruang sekolah.
Untuk lebih memahami konsep pendidikannya, Freire menjabarkan kesadaran manusia menjadi tiga macam. Pertama, kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Kedua, kesadaran naif, yakni kesadaran yang melihat aspek manusia menjeadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis, yakni kesadaran yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Dengan mengacu pada kesadaran yang terakhir ini, dunia pendidikan selalu mendapatkan pertanyaan dari setiap peserta didiknya. Pertanyaan yang selalu merongrong kemandekan dan kejumudan lingkungan tumbuh kembangnya dunia pendidikan. Dengan kata lain, kesadaran kritis ini menuntut pada setiap peserta didik untuk terus menerus mempertanyakan, merombak, mencari dan merumuskan kembali setiap konsep pendidikan sesuai ruang waktu ke-disini-an dan ke-kini-an.
Di tengah tuntutan, tantangan serta berbagai persoalan kegagagalan dunia pendidikan, sosok guru merupakan pihak yang paling tertuduh. Sosok guru merupakan orang paling dimintai pertanggung jawabannya. Bahkan tidak ada alasan apa pun, yang dapat diberikan oleh seorang guru untuk membela dirinya.
Maka, ketika ujian nasional digulirkan dengan standar kelulusan yang cukup fantastis, sosok guru pulalah, yang mula-mula merasa ketar-ketir. Ia mesti bertanggung jawab atas segala apa yang akan terjadi pada peserta didik: frustasi, stress, depresi dan segala keputuasaan mental generasi bangsa ini.
Maka perbaikan dan evaluasi pada kemampuan seorang guru, seolah menjadi hal yang logis untuk dilakukan pertama kali dalam memecahkan persoalan dunai pendidikan. Maka, kehadiran buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif" karya Dr. Suyatno, M. Pd. merupakan menu mujarab setiap guru dalam mempersiapkan dirinya sebagai peserta didik yang paling dituntut.
Dalam buku ini, sosok guru diajak untuk berkenalan dengan paradigma baru pendidikan, yang menekankan hadirnya prinsip pembelajaran yang inovetif dan keberanian seorang guru untuk melakukan inovasi. Dengan prinsip pembelajaran inovatif, seorang guru akan mampu memfasilitasi siswanya untuk mengembangkan diri dan terjun di tengah masyarakatnya.
Hal ini dapat dipahami dengan memerhatikan beberapa prinsip pembelajaran inovatif, yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; © siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif.
Selain memberikan beberapa prinsip dasar, pembelajaran inovatif juga menekankan adanya pola dan strategi pendidikan yang utuh. Pola dan strategi pendidikan yang menitik bertakan pada tercipanya kesadaran peserta didik pada dirinya sendiri dan lingkungannya.
Selanjutnya, ketakutan dan keminderan seorang guru dalam melakukan ekpresi merupakan salah satu tumor pendidikan yang urgen untuk disembuhkan. Inilah salah satu hal yang esensial yang dibawa buku ini. Seorang guru sudah seyogyanya untuk yakin bahwa setiap guru tanpa terkecuali dapat berinovasi dalam pembelajarannya; seorang seyogyanya untuk yakin bahwa perbuatan-perbuatan kecilnya yang teliti, semisal mencatat perubahan tentang cara dan gaya mengajar setiap hari akan melahirkan hasil yang besar; serta seorang guru seyogyanya untuk terbuka menerima saran dan kritik dari guru lain, bila pola pembelajaran yang disampaikannya sama seperti yang kemarin.
Lebih jauh, keberanian seorang guru dalam berinovasi, serta merta akan membentuk karakternya menjadi kreatif. Kemampuan dan kapasitasnya, baik hard skill maupun soft skill, akan terasah dengan sendirinya. Kekreatifan seorang guru, akan berdampak tidak hanya pada pola komunikasi pembelajaran, tetapi juga akan membentuk suasana serta atmosfir pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning). Pembelajaran yang mampu mentransformasikan ilmu sekaligus mampu membetuk karakter siswa yang manusiawi.
Di bagian akhir buku, juga diuraikan beberapa metode yang dapat digunakan oleh seorang kreatif dalam membangun suasana kelas yang familiar dan manusiawi. Suasana kelas yang tak lagi hadir sebagai ruang penjara yang dijejali teori, konsep dan tugas dari guru. Tetapi raung kelas yang mampu menggali potensi siswa dan menjernihkan nalar pikir anak didik dalam memahami dan mengaplikasikan kemampuannya untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.
Di tengah berbagai tuntutan dan gonjang-ganjing dunia pendidikan, serta terealisasinya anggaran dua puluh persen APBN untuk pendidikan, kehadiran buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif�" memiliki arti dan peranan yang cukup penting. Pertama, buku ini dapat dijadikan referensi bagi setiap peserta didik untuk melihat paradigma baru dunia pendidikan masa kini. Kedua, buku ini dapat menjadi media motivasi bagi setiap guru untuk lebih berani dalam melakukan pola dan strategi pembelajaran yang inovatif; pembelajaran yang mampu menciptakan ruang dan suasana kelas yang familiar dan harmonis, serta dinamis bagi anak didik. Ketiga, buku ini dapat mendorong guru untuk lebih kreatif dalam melakukan transformasi keilmuan. Kreatifitas guru tentunya terletak pada kekayaannya memiliki metode dan aneka model pembelajaran, serta kecermatannya untuk memilih dan memilah metode dan aneka pembelajaran yang akan digunakan di setiap waktu yang berbeda.
Terlepas dari arti dan peran-fungsinya bagi peserat didik, terutama guru, buku "Menjelajah Pembelajaran Inovatif" memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia pendidikan.

sumber :
Buku "Menjelajah Pembelajaran Innovatif" Karya Dr. Suyatno, M. Pd (Jakarta, Masmedia Buana Pustaka, 2009)

Tantangan Guru PAI pada Sekolah

BANJARAMASIN, DITPAIS - Berangkat dari kritik social terhadap PAI-lah Standar Nasional Pendidikan Agama Islam di Sekolah lahir. Persoalan-persoalan yang muncul sebagai kritikan sesungguhnya masalah yang sudah lama terjadi dan seakan laten. Masalah tersebut menjadi diskusi dilingkungan Direktorat Pendidikan Agama Islam. Jelas Dr. Imam Tholkhah, MA selaku Direktur PAI Ditjen Pendis Kemenag di Banjarmasin (28/9)

Empat masalah yang menjadi bagian penting dan belum bisa diselesaikan PAI di sekolah. Pertama masalah akhlak pelajar. Tamatan sekolah masih dianggap belum mampu untuk menmciptakan kenyamanan dan kemanan. Hal ini dilihat masih adanya kalangan pelajar yang terlibat tawuran dan kekerasan. Kedua, tamatan sekolah belum bisa baca al-quran. Ketiga, tamatan sekolah belum bisa melaksanakan ibadah ritual seperti sholat dan kritik keempat yang menyatakan bahwa tamatan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar sampai Menengah masih sangat minim pengetahuan agamanya.
Masalah-masalah inilah yang menjadi bahasan-bahasan diskusi baik formal maupun non formal di Direktorat PAI. paparnya

Jadi sesungguhnya lahirnya Standar Nasional PAI melalui waktu yang relative lama. Sambung Imam

Sementara itu, Prof. Dr. Sutrisno, MA mengatakan, Direktorat PAI sejak berdiri pada tahun 2006 telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki PAI pada Sekolah termasuk yang sedang dilakukan sekarang ini, yg sudah dimuliai dari tahun 2010, yaitu mengembangkan Standar Nasional PAI pada Sekolah kemudian mensosialisasikan pada beberapa wilayah. Tukasnya

Pada SN PAI ditemukan perubahan paradigma PAI yang tidak berhenti pada ranah kognitif, tetapi lebih fokus pada afektif dan kepribadian dengan menambah standar pengamalan.

sumber:

http://www.pendis.kemenag.go.id/pais/, diakses: 29/9/2011

GPAI PUNYA SAHAM BESAR DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA

BANJARMASIN, DITPAIS - Seorang Guru Agaama Islam bukan hanya bertanggung jawab memberikan materi kepada para siswa yang kemudian selesai begitu saja. Akan tetapi apa yang telah dilakukannya akan diminta pertanggungjabannya diakhirat kelak. Jelas Prof. Abdul Majid, MA dalam acara Sosialisasi Standar Nasional PAI yang diadakan Direktorat Pendidikan Agama Islam Dirjen Pendis Kementerian Agama.
Oleh karena itu, lanjut Majid, guru harus memberikan yang terbaik agar apa yang dilakukan benar-benar mencerdaskan anak didik yang tentunya akan menjadi pahala nanti di akhirat. Jadi apa yang dilakukan seorang guru agama bukan hanya menyelesaikan beban kerja dan selesai begitu saja akan tetapi apa yang telah dilakukannya akan diminta pertanggungjawabkan diakhirta kelak. Jika mindset seorang guru PAI seperti ini maka akan komitmen untuk mencerdaskan akan tetap terjaga. "guru agama bukan hanya sebatas mengajar" Paparnya
Kaiatan dengan melemahnya karakter bangsa dengan bergaimacam kekerasan yang muncul khususnya dikalangan pelajar. Sesungguhnya guru agama memiliki saham yang sangat besar dalam pembentukan karakter anak didik. Hal ini tentu karena esensi dari Pelajaran Agama Islam di sekolah adalah bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berakhlak baik personal maupun social.
"PAI itu bertujuan menciptakan anak shaleh" Tukas Majid
Agar para guru agama Islam dapat bekerja dengan sebaiknya maka seorang Kepala Seksi Mapenda harus mau meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, arahan dan bimbingan bagi guru PAI. jangan hanya para Kasi berpangku tangan tanpa ada kerja keras dan cerdas membimbing para guru. "tanpa peran para kasi Mapenda didaerah sulit bagi GPAI" imbuhnya
Salah satu kelemahn guru adalah menghadirkan islam yang kontekstual kepada siswa. Guru tidak mampu memberikan ilustrasi yang sesuai dengan zaman dalam kaitannya mengajarkan PAI di sekolah. Dalam mengajarkan sejarah kebudayaan Islam misalnya, banyak guru yang memberikan cerita-cerita zaman dahulu tanpa menggali nilai-nilai dalam cerita tersebut yang kemudian dikemas dalam kebudayaan setempat. Masalah seperti ini membuat Pendidikan agama Islam di sekolah kehilangan ruhnya. Guru PAI harus dibekali metodelogi dalam mentransfer value. Salah satunya adalah dengan menguatkan pemahaman Guru Agama Islam tentang sosiolinguistik. "guru PAI masih lemah dalam menghadirkan Islam yang kontekstual" tukas Abdul Majid di hadapan para kasi di dua Provinsi, yakni Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

sumber:
http://www.pendis.kemenag.go.id/pais/, diakses; 29/9/2011

Guru Profesional: Ajarkan Sikap Terlebih Dahulu

KEWAJIBAN utama seorang guru profesional, selain mengajar adalah mendidik. Hal ini yang sering dilupakan. Mendidik dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Mendidik dalam arti luas, mendidik siswa dalam menghadapi lingkungn di luar sekolah maupun mempersiapkan bekal nilai-nilai sosial,etika dan kearifan akhlak mulia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya di kemudian hari. Mendidik dalam arti sempit seperti sikap keseharian siswa di dalam ruang kelas, saat jam kosong, maupun interaksi siswa dengan warga sekolah di lingkungan sekolah.
Seandainya fungsi mendidik sudah dijalankan, mengapa masih banyak siswa yang berani sama guru, mencontek, kedisiplinan pakaian kurang, mencorat-coret tembok, kesopanan terhadap orang yang lebih tua mengalami penurunan, bahkan tawuran antarpelajar kita saksikan setiap minggunya? Tidakkah kita lihat di setiap jalan utama hampir semua rumah mendapatkan aksi coret tembok, siapa lagi pelakunya kalau bukan para siswa? Nongkrong tiap malam, perkelahian antarpemuda yang notabene para peserta didik yang melakukannya. Lebih nyata lagi, tiap pagi kita sak-sikan para pelajar tanpa helm menunjukkan aksi ngebutnya. Ya, itu adalah sebagian sikap jelek yang tidak boleh dimiliki peserta didik.
Dilematis tentunya bila guru mendapatkan tempat mengajar yang memiliki siswa dengan tradisi sikap jelek demikian. Di sekolah tersebut, sebagian guru yang telah menjalankan tugasnya mendidik, bisa dikatakan hampir seluruh waktunya habis untuk memberikan nasihat, pelajaran dan omelan-omelan kepada siswanya yang berakibat jam memberikan materi terkuras habis.
Ingatlah para guru profesional! Jangan berhenti, bahkan bosan menasihati, membimbing, mengarahkan siswa lantaran tidak adanya perubahan sikap. Seandainya dikatakan oleh teman anda, apa yang sudah anda lakukan tidak ada manfaatnya, maka jangan hiraukan dan tetaplah bersabar. Teruslah mencari metode yang bijak dari teman dan guru yang lain.
Sebaliknya, di sekolah yang memiliki input siswa dengan nilai yang tergolong tinggi, mampukah kita mendesain pembelajaran yang berbasis sikap (afektif) dengan mengutamakan nilai kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, menghargai pendapat orang lain,mengutamakan dan mendahulukan orang lain, kerja sama, komitmen tugas dan janji, keberanian dan ketegasan di atas kebenaran, kesopanan, kebersihan dan lain-lain?
Bagi penulis, mengajari sikap hingga mereka memiliki karakter yang baik untuk waktu sekarang maupun masa datang jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan kompetensi yang belum tentu peserta didik pakai. Ingat pula tidak semua siswa memiliki kecerdasan yang bagus, sehingga dapat menangkap materi pelajaran dengan baik. Tidak semua siswa harus diajar untuk menjadi seorang dokter, ilmuwan, profesor atau pejabat. Kelak para siswa harus siap menjadi pekerja yang di mata masyarakat dikatakan sebagai pekerja rendahan. Namun memiliki sikap yang baik harus dimiliki semua orang, lintas profesi, lintas daerah dan lintas apapun.
Oleh karenanya, perhatikan masalah pendidikan sikap ini sebelum yang lain. Jadikanlah kelas, sekolah, lingkungan, bahkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Bangsa yang terkenal keramahannya dan budi pekerti yang luhur. Mengapa? Karena guru profesional mendahulukan mendidik sikap sebelum mengajarkan ilmunya. q - c.
Bagaimana dengan guru-guru kita di Kabupaten Balangan?

sumber :
http//kemenag.go.id/pendis, diakses: 29/9/2011